Kisah Nabi Ibrahim dan Asal-Usul Umrah
Ibadah Umrah sering disebut sebagai "Haji Kecil". Bagi umat Islam, melangkahkan kaki ke tanah suci Makkah bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah napak tilas spiritual yang sangat dalam. Jika kita menelusuri sejarah syariat umroh, kita akan menemukan bahwa setiap rukun yang kita jalani hari ini—mulai dari Tawaf hingga Sa'i—berakar kuat pada kisah keteguhan iman Nabi Ibrahim AS dan keluarganya.
Jejak Awal di Lembah Tandus
Ribuan tahun lalu, Nabi Ibrahim AS menerima perintah dari Allah SWT untuk membawa istrinya, Hajar, dan putranya yang masih bayi, Ismail, ke sebuah lembah gersang yang tidak berpenghuni. Lembah itu adalah Bakkah (Makkah). Di sana, tidak ada sumber air, tidak ada tanaman, dan tidak ada manusia lain.
Peristiwa ini merupakan fondasi utama dari sejarah syariat umroh. Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan mereka demi menunaikan perintah Allah, Hajar bertanya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?" Ibrahim menjawab, "Ya." Dengan penuh keyakinan, Hajar berkata, "Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami."
Asal-Usul Sa'i: Perjuangan Siti Hajar
Salah satu rukun terpenting dalam Umrah adalah Sa'i, yakni berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Ritual ini merupakan bentuk penghormatan atas perjuangan Siti Hajar.
Saat perbekalan air habis dan Ismail menangis kehausan, Hajar berlari ke puncak Bukit Shafa untuk mencari bantuan, lalu berlari ke Bukit Marwah. Ia melakukannya tujuh kali dengan penuh harapan dan doa. Di tengah keputusasaan manusiawi itu, Allah SWT memancarkan mata air Zamzam dari bawah kaki bayi Ismail.
Hingga saat ini, setiap jemaah Umrah yang melakukan Sa'i sebenarnya sedang merasakan getaran iman yang sama: bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada pertolongan Allah bagi mereka yang berusaha.
Pembangunan Ka'bah dan Perintah Tawaf
Beberapa tahun kemudian, setelah Ismail tumbuh dewasa, Nabi Ibrahim kembali ke Makkah. Allah memerintahkan bapak dan anak ini untuk membangun kembali Baitullah (Ka'bah).
"Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): 'Janganlah kamu mempersekutukan Aku dengan sesuatupun dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' dan sujud.'" (QS. Al-Hajj: 26)
Pembangunan Ka'bah ini menandai titik balik besar dalam sejarah syariat umroh. Setelah bangunan suci itu berdiri, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyeru manusia agar datang berziarah. Konon, suara Nabi Ibrahim saat itu menembus ruang dan waktu, didengar oleh ruh-ruh manusia yang menjawab "Labbaykallahumma Labbayk" (Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah).
Evolusi Syariat dari Masa ke Masa
Meskipun syariat ini dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim, bentuk ibadah ini sempat mengalami penyimpangan selama masa jahiliyah, di mana Ka'bah dipenuhi oleh berhala. Namun, esensi ziarah ke Baitullah tetap ada dalam tradisi bangsa Arab.
Barulah pada masa Nabi Muhammad SAW, syariat Umrah dimurnikan kembali. Pada tahun ke-6 Hijriah, terjadi peristiwa Perjanjian Hudaibiyah yang menjadi pembuka jalan bagi umat Islam untuk melaksanakan Umrah. Kemudian pada tahun ke-7 Hijriah, Nabi dan para sahabat melaksanakan Umratul Qadha. Inilah yang memantapkan tata cara (manasik) Umrah yang kita kenal sekarang, yang sepenuhnya merujuk pada ketauhidan yang diajarkan Nabi Ibrahim AS.

Mengapa Kita Ber-Umrah?
Memahami sejarah syariat umroh memberikan perspektif baru bagi para jemaah. Umrah bukan sekadar ritual fisik memutari Ka'bah atau berjalan di antara dua bukit.
-
Tawaf melambangkan keteraturan alam semesta yang berpusat pada penciptanya.
-
Sa'i melambangkan ikhtiar hidup yang tak kenal menyerah.
-
Tahallul (mencukur rambut) melambangkan pembersihan diri dan lahirnya jiwa yang baru.
Kesimpulan
Kisah Nabi Ibrahim adalah kisah tentang penyerahan diri total. Tanpa pengorbanan beliau, Siti Hajar, dan Nabi Ismail, kita mungkin tidak akan mengenal indahnya ibadah di tanah suci. Melaksanakan Umrah adalah bentuk kesetiaan kita pada ajaran tauhid yang telah dijaga selama ribuan tahun.
Setiap langkah di Masjidil Haram adalah langkah di atas tanah yang pernah dipijak oleh para kekasih Allah. Dengan memahami sejarahnya, semoga ibadah Umrah kita tidak hanya menjadi penggugur kewajiban, tetapi menjadi perjalanan transformasi batin yang murni.
